Manusia diciptakan dengan struktur otak yang sangat menunjang untuk berpikir. Namun dunia memang penuh anomali. Ketika sesuatu ada agar sesuatu terasa lebih mudah, manusia terus membuat keadaan yang ada semakin menjadi rumit. Otak dengan segala struktur anatomi, histologi, hingga fisiologinya yang begitu dahsyat membuat adanya perbedaan perspektif antara manusia satu dengan manusia lainnya. Sempurna untuk membuat hingar-bingar di muka Bumi.
Merasa tidak pernah cukup, selalu memikirkan dirinya sendiri, dan sifat-sifat menjijikkan lainnya. Belum lagi faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang pola pikir seorang manusia, di mana pola pikir itu nantinya akan membentuk titik perspektif yang akan menjadikan manusia itu pada akhirnya.
Seorang anak yang dididik dengan kekerasan, misalnya. Secara tidak langsung, pola pikir anak itu akan terbentuk untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara kekerasan juga. Beda halnya dengan seorang anak yang dididik dengan penuh kasih sayang. Dia akan terbentuk untuk menjadi seseorang yang mengasihi terhadap sesama.
Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan judgement yang sangat tinggi. Baik? Tidak juga. Kadang kemampuan judgement ini hanya digunakan untuk meremehkan orang lain yang terlihat tidak bisa apa-apa dan meremehkan kemampuan orang lain yang tidak dimiliki oleh dirinya sendiri. Dimana pada akhirnya kemampuan judgement ini hanya bermanfaat bagi orang-orang tertentu yang mampu menahan judgement-nya. Bisa berdasarkan pengalaman hidup, bisa juga berdasarkan perasaan mawas diri.
Untungnya perkembangan otak bersifat dinamis. Itulah mengapa seiring berjalannya waktu, dengan melewati semua kejadian-kejadian abstrak dalam hidup, manusia dapat mengerti dan mengubah suatu sifat dalam dirinya yang sekiranya tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Namun inti dari segala kesenjangan di muka Bumi ini bukanlah sekedar sifat negatif dari seorang manusia yang sudah terlanjur terbentuk sejak dulu dan sengat sulit untuk dirubah
Perspektif. Sudut pandang. Kunci dari segala perselisihan, kemarahan, perbedaan, kesenjangan, dan masalah lainnya dalam hidup.
Perspektif ini bisa dikontrol oleh tiap-tiap individu. Untuk hidup bersama, anak-anak manusia tidak perlu memiliki perspektif yang sama. Mereka hanya perlu untuk mengerti perspektif satu sama lain sehingga ketika salah satu dari mereka membuat masalah secara tidak disengaja, maka anak manusia yang lain akan mengerti posisinya dan tahu bagaimana harus bertindak terhadap lingkungan sekitar dan terhadapnya.
Misalnya, A adalah perempuan yang dididik di lingkungan bersih. Rumahnya selalu bersih. Dia juga dididik untuk menghargai satu sama lain. Sedangkan B adalah perempuan yang biasa di tempat yang kotor. Sedari kecil sifatnya selebor. Sopan santunnya juga menjadi kurang karena lingkungan. Ketika B bermain di rumah A, B tidak bisa menghilangkan sifat selebor dan kebiasaan kotornya. Sepulangnya B dari rumah A, A marah. Ia merapikan rumah sambil menggerutu.
Padahal A bisa mencegah kemarahannya jika ia memposisikan diri menjadi B dan lebih melihat mengapa B menjadi seorang B yang sekarang daripada melihat sifat B yang telah ada.
Dengan marah, maka si A sudah membuang-buang energi tubuh untuk meladeni bagian amygdala di otak, saraf-saraf simpatetik, dan kontraksi otot-otot wajah yang mempercepat penuaan. Padahal B masih memiliki pilihan untuk mengerti atau memposisikan diri sebagai A yang sudah terlanjur terbentuk menjadi seseorang yang seperti itu.
Begitupun dengan A yang sebenarnya bisa memposisikan diri menjadi B sebelum melakukan segala keseleboran di rumah B.
Begitupun dengan A yang sebenarnya bisa memposisikan diri menjadi B sebelum melakukan segala keseleboran di rumah B.
Begitupun dengan hal-hal lainnya. Daripada kita hanya sibuk menggunakan fungsi otak tertinggi yang hanya unggul pada manusia ini, judgement, mengapa kita tidak melatih fungsi perspektif pada otak?
Cobalah sekali-sekali ketika ada masalah, posisikan diri menjadi orang yang berhadapan dengan kita. Lama-kelamaan otak akan terlatih untuk menjadikan perubahan perspektif ini sebagai konsep default berpikir dalam diri sehingga tidak hanya digunakan di saat ada masalah saja, kemampuan ini lama-kelamaan akan berguna di setiap kejadian dalam hidup.
Sebagai langkah awal, cobalah bicara pada diri sendiri sebelum bertindak pada orang lain, "Kalo gue jadi dia, mau gak gue digituin?"
Cobalah sekali-sekali ketika ada masalah, posisikan diri menjadi orang yang berhadapan dengan kita. Lama-kelamaan otak akan terlatih untuk menjadikan perubahan perspektif ini sebagai konsep default berpikir dalam diri sehingga tidak hanya digunakan di saat ada masalah saja, kemampuan ini lama-kelamaan akan berguna di setiap kejadian dalam hidup.
Sebagai langkah awal, cobalah bicara pada diri sendiri sebelum bertindak pada orang lain, "Kalo gue jadi dia, mau gak gue digituin?"