2.28.2016

Keluarlah

Untuk apa rasa takut itu ada jika hanya akan membebani seorang anak manusia

Seharusnya ia berani melangkah maju, melupakan masa lalu, dan mencoba berbagai hal baru. Kenyataannya kini ia terjebak. Ia tak bisa bergerak dan hanya berdiam diri. Bahkan untuk bergeser pun ia enggan. Ketika orang-orang terdekatnya perlahan mulai menapak langkah, ia masih terdiam.

Seseorang telah menunggu di ujung jalan itu.
Tapi kapan kamu berani melangkah keluar rumahmu?
Berdiam diri tidak akan membantu.
Mengurung hati hanya akan memperparah keadaanmu.

2.23.2016

Sebenarnya Pintuku Tersembunyi

Aku merasa waktu berjalan begitu cepat. Beberapa bulan lalu aku menemukan tempat bersandar. Tak lama setelah itu, dia pergi menghilang. Kemudian aku menemukan tempat bersandar baru, dan kejadian lama terulang lagi.

Sejak itu aku sadar bahwa tidak melulu aku harus bersandar. Untuk apa juga bahu pinjaman yang bersifat sementara? Masalah dalam hidup ini tidak akan selesai hanya dengan bersandar, baik ke bahu yang tepat ataupun tidak. Pada akhirnya, diriku sendiri yang akan menyelamatkan jiwaku dari segala kutukan dunia ini. Ucapan-ucapan penyabar dan kata-kata penyemangat dari orang lain hanya memberi sugesti sementara. Beberapa detik setelah sugesti itu tiba, aku harus kembali ke realita bahwa duniaku masih berantakan. Masih banyak yang harusnya ku selesaikan jika dibandingkan dengan tersenyum mendengar kata-kata penyemangat itu.
 
Aku jadi mengerti bahwa menceritakan sesuatu kepada orang lain tidaklah penting. Yang terpenting dalam hidup ini adalah bagaimana kita sebagai manusia menghadapi suatu masalah dalam hidup dan mengambil keputusan tepat untuk mengatasinya. Aku seolah-olah membangun tembok antara diriku dengan sekitar hanya untuk bisa kembali menjadi diriku beberapa tahun lalu. Umpamakan saja bahwa diriku kini tinggal di sebuah kastil yang sangat kuat.
 
Banyak orang mencoba meruntuhkan tembok ini. Berkali-kali mereka datang dan pergi untuk mengetes kekuatan tembok ini. Kadang juga mereka singgah hingga akhirnya mereka menyerah. Kebanyakan dari mereka langsung menghancurkan tembok ini dengan cara kasar. Mereka tidak mau tahu bagaimana caranya. Asalkan tembok ini runtuh, mereka akan melakukan apa saja. Terkadang aku menyesal karena telah membuat tembok ini. Aku takut nantinya tembok ini hanya akan mempersulit keadaanku.
 
Lalu tiba-tiba datang sang musafir yang entah darimana asalnya, memiliki cara yang unik. Musafir ini terlebih dahulu singgah di sekitar tembokku dan memerhatikan kelemahan benteng terkokohku itu. Lalu ternyata ia menemukan suatu pintu tersembunyi, dan musafir itu mengetuknya.
 
Di saat aku terganggu dengan pemecah-pemecah tembok, ketukan pintu itu membuatku turun dan membuka pintu.
 
Sedikit demi sedikit pintu telah terbuka. Musafir itu berhasil masuk ke lantai satu. Ternyata selain meneliti kastilku selama ini, ia juga memerhatikanku. Hal yang aku suka, dia tahu garis besarnya. Dia tahu kapan harus memuji dan kapan harus menertawakan. Dia tau kapan harus meninggi dan kapan harus merendah. Dia berhasil membuatku mempersilahkannya duduk sebagai tamu.
 
Di saat orang-orang yang lain masih sibuk meruntuhkan dinding luar, aku malah tertawa di lantai satu bersama musafir ini.
 
Lama akhirnya hingga kita saling bercerita satu sama lain. Refleks aku menyeduh kopi dan membuat roti sebagai teman bicara kami. Secara tidak sadar aku semakin dekat dengan musafir ini.
 
Pak Musafir, sebelum membawamu naik hingga lantai dua, izinkanlah aku bertanya.
Bagaimana bisa kamu mengetuk pintu dengan suara yang jauh lebih menyamankan telinga dibandingkan suara serangan-serangan terhadap tembokku?
Bagaimana bisa akalmu bisa menemukan pintu itu, lalu mengetuknya hingga aku membukakan pintu untukmu di saat aku sendiri lupa bahwa aku memiliki pintu itu?
Bagaimana bisa kamu membuatku kembali mengingat hal-hal yang lama ku simpan sendiri untuk ku ceritakan kepadamu?

2.15.2016

Tercekik Waktu

Malam ini tekanan oksigen entah berapa. Menipis sepertinya. Sulit sekali molekul-molekul oksigen ini berpindah ke dalam paru-paruku. Walaupun dada ini telah mengembang maksimal untuk berusaha menghirup, aku tetap harus membuka mulut untuk berusaha bernafas.

Pengap rasanya. Sulit sekali untuk bernafas. Rasanya seperti tercekik, entah oleh apa. Leherku terus tertahan sesenggukan. Bahkan di puncak gunung pun tidak seperti ini rasanya.

Lalu mataku terasa kering. Entah angin darimana yang bertiup melewati kedua bola mata ini. Rasanya perih, seperti kehilangan cairan yang melubrikasi. Ataukah mungkin sudah terlalu banyak cairannya terbuang? Entahlah.

Aku merasa pusing. Kepalaku seperti tertekan dan ekstrimitas-ekstrimitasku lemas rasanya. Padahal baru saja aku makan malam. Seharusnya tubuhku tidak akan mengalami kekurangan energi pada saat ini. Bahkan untuk berdiri pun, aku tidak bisa.

Rasanya jika sudah seperti ini aku ingin merebahkan diri saja. Bergumal dengan selimut tebal, lalu melupakan dunia sekitar untuk beberapa menit sembari menenangkan perasaanku hingga alam bawah sadarku nanti cukup kuat untuk mengembalikan segala sinyal-sinyal saraf ke seluruh tubuh yang sudah melemah sedari tadi.

Ketika aku maju tanpa ragu, hembusan angin di atmosfer ini terlalu cepat. Tak kuat ragaku melawannya hingga aku terseok-seok melangkah maju, sampai akhirnya aku terpaksa mundur. Langkah awal yang ku kira ke depannya akan baik-baik saja, ternyata tetap ada juga hambatannya.

Terdengar lagi di telingaku tentang simpang siur itu. Entah apa permasalahan utamanya. Angkuh? Waktu? Mungkin angkuh bisa dirubah, tapi waktu tidak bisa menunggu. Semua orang tahu, semua orang mengerti. Termasuk aku.

Mungkin waktu bisa diulur, tapi waktu tidak bisa dimanipulasi. Mungkin waktu sangat berharga sampai waktu tidak bisa dibeli. Mungkin waktu bisa diatur, namun waktu tidak bisa berdusta. Mungkin waktu terus berjalan hingga waktu tak bisa menunggu. Mungkin waktu hanya bisa membisu, hingga waktu tidak bisa menunggu.

Hingga cinta terikat pada waktu dan terpisah oleh waktu.

Duhai waktu, bersediakah kau menunggu?