1.28.2016

Selagi Kau Lelap - Dewi Lestari

Sekarang pukul 1:30 pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan karena engkau tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai. Apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal?

Aku selalu ingin mencuri waktumu, menyita perhatianmu, semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan sprei, tempat tubuhmu sekarang terbaring. Sudah hampir tiga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan, kalikan tiga puluh, kalikan dua puluh empat, kalikan enam puluh, kalikan lagi enam puluh, dan kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini, 4.354.560.000. Itulah banyaknya milisekon sejak pertama kali aku jatuh cinta kepadamu. Dan aku berani jamin, engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi.

Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor. Tak terbayang menambahkannya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis? Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Aku tak pernah tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan dan tak sanggup kita bersaing dengannya.

Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Kini izinkan aku tidur menyusulmu ke alam abstrak dimana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis atau mimpi buruk. Tunggu aku. Begitu banyak yang ingin ku bicarakan denganmu.

Kalau boleh memilih satu, aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemari-jemarimu menggapai-gapai. Tidurku meringkuk ke sebelah kanan, sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut sprei. Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari, dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam. Mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa,

Selamat pagi.