1.30.2016

Mungkin Kenangan Ada untuk Dikenang

Sekilas bayang wajahmu muncul lagi hari ini
Menyambut kenangan jalanan tua yang sepi di malam hari
Dibalut angin kencang yang menggigilkan hati
Kemudian mobilku terhenti di sisi jalan ini

Senyumku menutupi luka yang ada dan bertanya-tanya

Ingatkah kau saat kita melewati jalan ini berdua?
Tertawa bersama
Bercerita
Dua hari yang penuh canda tawa bagi kita

Ingatkah kau saat mengajakku ke sudut kota itu?
Waktu itu kau ajak aku menyantap hidangan kesukaanmu
Kamu bilang, ini langgananmu semasa SMA dulu
Dan kini kamu bilang, ini kenanganmu selulus kuliah dulu

Kamu pasti ingat waktu kita makan bersama
Kamu bilang tanggal lahirku sama dengan Ibumu
Lalu aku tertawa dan berfikir semu,
"Kok bisa?"

Dan ketika kita ke sebuah cafe bersama mereka
Di saat itu kamu tidak bermaksud mengucap namaku
Sampai tiba-tiba ketika kamu cerita, tak sengaja mengeja namaku
Semua orang tertawa dan pipimu memerah

Kalau saat kita makan steak?
Kamu bilang aku sombong
Padahal aku tidak
Aku hanya ingin melihat kamu berjuang

Bagaimana saat mengantarku?
Puluhan kilometer kau tempuh bersamaku
Dengan malu malu aku jawab mau
Dan kita sama-sama berharap bisa menghentikan waktu

Lalu tentang jaket dinginmu
Terpasang sempurna di tubuhku dari kepala hingga pahaku
Aku ingat betul bagaimana dirimu memakaikannya padaku
Dan bagaimana dadaku terserang detakan-detakan tajam di saat itu

Ku dengar dirimu sudah menemukan rutinitas baru
Selamat, jangan mengeluh!
Ingatlah betapa kamu berharap untuk itu
Sejak dulu

Bagaimana masa depanmu
Aku pun tak tau
Tapi melihat kebahagiaanmu yang tak kunjung jemu
Aku pun memantapkan langkah mundurku

Semoga kamu bahagia dalam pelukannya
Jika memang kita tak ditakdirkan bersama
Tak apa
Selama kamu bahagia aku pun juga merasa


posted from Bloggeroid

1.28.2016

Selagi Kau Lelap - Dewi Lestari

Sekarang pukul 1:30 pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan karena engkau tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai. Apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal?

Aku selalu ingin mencuri waktumu, menyita perhatianmu, semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan sprei, tempat tubuhmu sekarang terbaring. Sudah hampir tiga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan, kalikan tiga puluh, kalikan dua puluh empat, kalikan enam puluh, kalikan lagi enam puluh, dan kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini, 4.354.560.000. Itulah banyaknya milisekon sejak pertama kali aku jatuh cinta kepadamu. Dan aku berani jamin, engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi.

Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor. Tak terbayang menambahkannya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis? Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Aku tak pernah tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan dan tak sanggup kita bersaing dengannya.

Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Kini izinkan aku tidur menyusulmu ke alam abstrak dimana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis atau mimpi buruk. Tunggu aku. Begitu banyak yang ingin ku bicarakan denganmu.

Kalau boleh memilih satu, aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemari-jemarimu menggapai-gapai. Tidurku meringkuk ke sebelah kanan, sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut sprei. Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari, dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam. Mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa,

Selamat pagi.

1.10.2016

Adhitia Sofyan - Midnight

Here today gone tomorrow
Washed away all my sorrow
There will be time when I will come and find you again

Leave the light on your window
I just might try to follow
There will be a time when I will finally find you

But midnight close my eyes I'm tired I'm fading
I am only human, searching
Places I wont go your name are written
We're only human, faking

Stay a while, feel my hollow
Till the sky turns to yellow
There will be a time when I will come and find you again

See the time has gone too narrow
They will be things you can't borrow
There will be a time when I will finally find you

1.07.2016

Life is Full of Question, isn't it?

Pernah suatu waktu kamu berpendapat bahwa hidup ini penuh pertanyaan, entah pertanyaan macam apa itu.
 
Kemudian kamu kembali berpendapat bahwa seorang yang bodoh akan terus menemukan jawaban. Aku tersedak mendengarnya, lalu tertawa. Bagaimana tidak? Aku adalah orang yang selalu menemukan jawaban dari segala masalah dan tidak pernah berusaha menjadikan sesuatu menjadi lebih rumit dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bahkan jika seseorang menanyakan pertanyaan rumit semacam itu, aku akan menjawabnya dan menjadikannya simpel. Aku tidak pernah meninggalkan seseorang dengan perasaan bertanya-tanya, termasuk diriku sendiri.
 
Tapi sejak itu aku mulai bertanya-tanya. Mungkin memang bukan pertanyaan-pertanyaan jenius atau semacam itu. Aku mulai bertanya-tanya mengapa ada seseorang dengan pola pikir sepertimu, ada di dunia ini.
 
Karena kamu tenang namun bisa mencapai segala keinginanmu di dunia ini entah dengan usaha yang seberapa besar.
Karena kamu seseorang yang bisa menyeimbangkan segala bidang di kehidupanmu.
Kamu juga tetap bisa mengatur waktu untuk bersenang-senang dan serius.
Tak lupa, kamu juga tetap bisa menjaga kesehatanmu dengan baik.
Tidak hanya dirimu sendiri, kamu juga tetap bisa mengurus dan peduli banyak orang di luar sana.
 
Siapa juga yang tak geleng kepala melihatnya?
 
Kadang sekelibat pikiran aneh terlintas di otakku. Tentang jam tidurmu setiap hari, waktu tidurmu, pola kehidupanmu, dan apa saja yang telah kamu lewati hingga kamu bisa menjadi dirimu yang sekarang. Lalu naluri keingintahuanku sebagai seorang manusia mulai muncul dan aku mulai mencari tahu tentangmu. Apapun medianya, aku mulai mencari tahu tentangmu.
 
Tapi aku harus berhenti.
 
Semakin aku tahu, semakin kagum diriku. Rasa kagum sedang tidak kooperatif dengan kondisiku sekarang. Tidak baik juga untukmu memikirkan hal-hal tidak penting seperti ini. Fokusmu sudah terlalu banyak terbagi, bukan?
 
Mungkin di waktu luangmu nanti kamu bisa mengajarkanku bagaimana untuk mengatur prioritas dan mengatur fokus, dengan caramu.
 
Tidak, tidak. Jika kamu memiliki waktu luang yang sangat banyak lalu tidak sengaja membuka frasa-frasa di atas, jangan khawatir. Anggap saja kamu tidak pernah membacanya dan kembali saja ke pekerjaanmu yang lainnya.
 
Mungkin diriku memang selalu penuh jawaban, tapi aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan kamu tanyakan.
 
Meskipun aku tidak tahu apa yang akan kamu tanyakan. Eksak? Abstrak? Entahlah.
 
Tapi satu yang jelas.
 
Meskipun pola pikirmu begitu abstrak, pertahankan saja karena bagiku pola pikirmu sangat mengagumkan.
 
Selamat! Sekarang kamu sudah naik level dan akan semakin banyak yang akan kamu pelajari. Semoga kamu menjadi seseorang yang semakin bijaksana dan bertanggung jawab ke depannya.
 
Jangan kurangi kharisma yang ada pada dirimu ya. Aku suka melihatnya.
 
Mari kita saling menyiapkan pertanyaan dan jawaban! Lalu aku akan membuktikan bahwa tidak semua orang yang penuh dengan jawaban, adalah orang bodoh ;)
 
Atau mungkin bisa saja kita saling melengkapi dengan pertanyaan-pertanyaanmu, dan jawaban-jawabanku.
 
Tidak, tidak. Aku hanya bercanda :)
 

1.03.2016

The Power of Perspective

Manusia diciptakan dengan struktur otak yang sangat menunjang untuk berpikir. Namun dunia memang penuh anomali. Ketika sesuatu ada agar sesuatu terasa lebih mudah, manusia terus membuat keadaan yang ada semakin menjadi rumit. Otak dengan segala struktur anatomi, histologi, hingga fisiologinya yang begitu dahsyat membuat adanya perbedaan perspektif antara manusia satu dengan manusia lainnya. Sempurna untuk membuat hingar-bingar di muka Bumi.
 
Merasa tidak pernah cukup, selalu memikirkan dirinya sendiri, dan sifat-sifat menjijikkan lainnya. Belum lagi faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang pola pikir seorang manusia, di mana pola pikir itu nantinya akan membentuk titik perspektif yang akan menjadikan manusia itu pada akhirnya.
 
Seorang anak yang dididik dengan kekerasan, misalnya. Secara tidak langsung, pola pikir anak itu akan terbentuk untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara kekerasan juga. Beda halnya dengan seorang anak yang dididik dengan penuh kasih sayang. Dia akan terbentuk untuk menjadi seseorang yang mengasihi terhadap sesama.
 
Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan judgement yang sangat tinggi. Baik? Tidak juga. Kadang kemampuan judgement ini hanya digunakan untuk meremehkan orang lain yang terlihat tidak bisa apa-apa dan meremehkan kemampuan orang lain yang tidak dimiliki oleh dirinya sendiri. Dimana pada akhirnya kemampuan judgement ini hanya bermanfaat bagi orang-orang tertentu yang mampu menahan judgement-nya. Bisa berdasarkan pengalaman hidup, bisa juga berdasarkan perasaan mawas diri.
 
Untungnya perkembangan otak bersifat dinamis. Itulah mengapa seiring berjalannya waktu, dengan melewati semua kejadian-kejadian abstrak dalam hidup, manusia dapat mengerti dan mengubah suatu sifat dalam dirinya yang sekiranya tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
 
Namun inti dari segala kesenjangan di muka Bumi ini bukanlah sekedar sifat negatif dari seorang manusia yang sudah terlanjur terbentuk sejak dulu dan sengat sulit untuk dirubah
 
Perspektif. Sudut pandang. Kunci dari segala perselisihan, kemarahan, perbedaan, kesenjangan, dan masalah lainnya dalam hidup.
 
Perspektif ini bisa dikontrol oleh tiap-tiap individu. Untuk hidup bersama, anak-anak manusia tidak perlu memiliki perspektif yang sama. Mereka hanya perlu untuk mengerti perspektif satu sama lain sehingga ketika salah satu dari mereka membuat masalah secara tidak disengaja, maka anak manusia yang lain akan mengerti posisinya dan tahu bagaimana harus bertindak terhadap lingkungan sekitar dan terhadapnya.
 
Misalnya, A adalah perempuan yang dididik di lingkungan bersih. Rumahnya selalu bersih. Dia juga dididik untuk menghargai satu sama lain. Sedangkan B adalah perempuan yang biasa di tempat yang kotor. Sedari kecil sifatnya selebor. Sopan santunnya juga menjadi kurang karena lingkungan. Ketika B bermain di rumah A, B tidak bisa menghilangkan sifat selebor dan kebiasaan kotornya. Sepulangnya B dari rumah A, A marah. Ia merapikan rumah sambil menggerutu.
 
Padahal A bisa mencegah kemarahannya jika ia memposisikan diri menjadi B dan lebih melihat mengapa B menjadi seorang B yang sekarang daripada melihat sifat B yang telah ada.
 
Dengan marah, maka si A sudah membuang-buang energi tubuh untuk meladeni bagian amygdala di otak, saraf-saraf simpatetik, dan kontraksi otot-otot wajah yang mempercepat penuaan. Padahal B masih memiliki pilihan untuk mengerti atau memposisikan diri sebagai A yang sudah terlanjur terbentuk menjadi seseorang yang seperti itu.

Begitupun dengan A yang sebenarnya bisa memposisikan diri menjadi B sebelum melakukan segala keseleboran di rumah B.
 
Begitupun dengan hal-hal lainnya. Daripada kita hanya sibuk menggunakan fungsi otak tertinggi yang hanya unggul pada manusia ini, judgement, mengapa kita tidak melatih fungsi perspektif pada otak?

Cobalah sekali-sekali ketika ada masalah, posisikan diri menjadi orang yang berhadapan dengan kita. Lama-kelamaan otak akan terlatih untuk menjadikan perubahan perspektif ini sebagai konsep default berpikir dalam diri sehingga tidak hanya digunakan di saat ada masalah saja, kemampuan ini lama-kelamaan akan berguna di setiap kejadian dalam hidup.

Sebagai langkah awal, cobalah bicara pada diri sendiri sebelum bertindak pada orang lain, "Kalo gue jadi dia, mau gak gue digituin?"