12.03.2014

-

Hai pujangga,

Kita kembali bertemu. Dalam haru biru aku menunggu. Menunggu dirimu yang tak kunjung tiba sedari tadi. Telah lama ku ulur waktu untukmu. Setelah kau datang, belum juga hilang bebanku. Segala rasa yang ingin ku utarakan masih juga terpendam. Lucunya, aku terlalu terlambat untuk merasakan itu. Silahkan tertawakan aku.

Kemudian kita singgah berdua. Mungkin aku yang terlalu berharap, namun tatapan matamu yang begitu tajam mengarah padaku. Kau tatap aku dalam-dalam namun aku hindari semua itu. Ingin rasa hari menatapmu kembali namun rasa malu ini terlalu besar.

Mungkin sesekali aku berpikir untuk menyerah. Menyerah memang begitu mudah, tapi tidak untuk kamu. Mungkin jika bisa, akan ku hipnotis mata itu untuk terus melihatku. Sayang, bermimpi jauh lebih mudah daripada menapakkan kaki di tanah karena gravitasi. 

Dimulai dari doaku yang terkabul, kemudian kebersamaan kita yang mungkin hanya sekian persen dari 24 jam yang ada. Semuanya memberi makna tersendiri melalui jalannya masing-masing. Bahkan aku masih ingat ketika kita mengucapkan kata itu bersama. Mungkin hanya sekedar ucapan terimakasih yang sudah sering ku lontarkan pada beribu manusia lain. Namun, saat itu terasa berbeda karena kita mengucapkannya bersamaan.

Entah dirimu yang terlalu baik atau aku yang terlalu perasa. Aku merasa ada sesuatu yang salah di antara kita. Aku yang terlalu malu, kau yang jarang berucap. Ataukah terbalik? Entahlah... Aku tidak ingin menyebut diriku terlalu berharap karena berharap padamu merupakan hal yang wajar. Bagaimana tidak? Puluhan wanita di luar sana kini sedang mendambakanmu! 

Mengapa rasa begitu sulit untuk diucapkan? Jika rasa yang terpendam hanya akan membuat manusia sakit, lalu mengapa manusia itu terus menyembunyikannya?

Baiklah, tunggu. Aku sudah terlalu jauh merasa. Mungkin aku bukanlah fokusmu. Yup! Terlalu banyak hal yang memperebutkan fokusmu di dunia ini, pujangga. Namun sekali lagi aku perlu menekankan bahwa aku tak ingin menyerah. Aku sudah terlalu lelah untuk menyerah dan kamu terlalu tanggung untuk tidak diperjuangkan.

Melalui sepucuk surat ini aku hanya ingin berkata,

Jika memang aku yang terlalu perasa dan semuanya benar? Muncullah di hadapanku. Tataplah kembali mataku dengan ribuan topeng yang kau gunakan. Aku tak pernah peduli kau ingin menatapku dengan wajah siapa. Asalkan itu tetap matamu. Jika ada lagi kesempatan lagi aku berjanji akan menatap matamu kembali dan mungkin kita akan berakhir lebih bahagia.

Tunggu, aku tidak ingin ini semua berakhir.

Harapanku hanyalah Tuhan. Melalui namamu yang selalu kusebut dalam doa, aku titipkan salam rindu nan sayang. Biarlah angin berhembus membawa ucapan doaku. Biarlah ucapan doaku menyebar ke seluruh dunia dan bercampur di setiap partikel oksigen. Mungkin di salah satu molekul udara yang kau hirup di esok hari, terdapat ucapan doaku.

Hai pujangga, aku di sini menunggu. Janganlah kamu diam begitu karena aku terlalu malu.