4.24.2016

Finally

Dua kali dalam dua tahun terjatuh dari ketinggian. Dibanting Bumi, tanpa bantuan angin. Rasanya frekuensi itu sudah cukup untuk membuat langkah kaki terhenti. Tulang-tulang retak tak karuan. Otot mengejang. Segala lapisan kulit terkoyak dan menekan ujung saraf. Perih rasanya. Sakit.

Lebih sakit lagi di kali kedua. Dimana dia menemukan alasan untuk mencoba lagi memijaki atap tertinggi, lalu melihat ke bawah. Tapi ternyata sama. Dia tetap terjatuh ke bawah, menggapai tanah dengan segala harapan yang tertinggal di atas atap.

Dia jatuh. Tangannya menggapai-gapai ke atas, berharap pondasi atap itu bisa bergerak dan menahannya untuk terhempas ditarik gravitasi. Namun sayangnya pondasi atap itu hanya diam tidak bergerak. Memandanginya jatuh tersungkur ke atas tanah.

Andai saja dia memiliki sayap, pasti dia tidak akan merasakan perihnya terjatuh dari atap. Sayap itu akan mengepak ke atas ke bawah untuk menyelamatkannya. Dia akan terbang atau setidaknya mendarat dengan selamat.

Sejak itu dia enggan naik ke atap. Dia hanya berani menapakkan kaki di atas tanah. Selangkah demi selangkah, pelan bergerak lurus. Tanpa pernah mendongak menatap atap. Dia terus berjalan melangkah ke depan dengan pandangan lurus. Sesekali dia menengok ke kanan dan ke kiri ketika mendengar namanya dipanggil, namun dia tidak pernah lagi menengok ke atas.

Lalu tiba-tiba saja seseorang berjalan menghampirinya. Sontak para pemanggil namanya dari kanan dan kiri terdiam. Langkahnya terhenti. Semua terdiam. Dunia hening dan hanya suara angin yang mampu menggetarkan gendang telinga. Takut terlalu lama hanyut dalam keheningan, dia bicara. Mereka berinteraksi, kemudian berjalan berdampingan.

Keakraban menyelimuti mereka seiring waktu. Kini pembicaraan mereka berubah. Awalnya mereka hanya berbincang-bincang kaku tertuju pada satu fokus layaknya introgasi kriminal. Kini mereka bercanda dan saling tertawa. Jalan mereka juga tidak selalu berdampingan. Diselingi dengan kejar-kejaran satu sama lain. Hingga tanpa sadar ternyata dia tiba di atap lagi untuk ketiga kalinya.

Dia diam. Melangkahkan kakinya ke belakang, namun kini ada yang menggenggam tangannya. Dia kembali melangkah maju memberanikan diri. Tapi ketakutan itu muncul lagi. Terlebih saat dia melihat ke bawah.

Hingga akhirnya ada bisikan menggetarkan membran timpani telinganya.
Suara itu berkata bahwa dia tidak perlu melihat ke bawah untuk menapakkan kaki di atap.
Dia hanya perlu keberanian untuk melihat keindahan sekitar yang hanya bisa dilihat dari sana.
Pun jika nantinya dia takut terjatuh, kini ada seseorang yang akan selalu menggenggam tangannya.
Dia tidak akan jatuh.
Dia akan dilindungi.
Dan kini, keberaniannya sudah kembali.

Dia sadar bahwa yang dia butuhkan bukanlah sayap yang akan melindunginya dari rasa sakit dikala terbanting oleh gravitasi.
Yang dia butuhkan adalah seseorang dengan sepasang tangan untuk menggenggam tangannya erat.
Meyakinkannya bahwa dia tidak akan terjatuh.
Menemaninya melawan rasa takut dan traumanya.
Dan melindunginya agar dia tidak terhempas ke tanah untuk kesekian kalinya.

...And she found it
She found you
Her scar healed
And you'll never know
How long she had waited
And how lucky she is
To have you...
You're her best luck.