Aku merasa waktu berjalan begitu cepat. Beberapa bulan lalu aku menemukan tempat bersandar. Tak lama setelah itu, dia pergi menghilang. Kemudian aku menemukan tempat bersandar baru, dan kejadian lama terulang lagi.
Sejak itu aku sadar bahwa tidak melulu aku harus bersandar. Untuk apa juga bahu pinjaman yang bersifat sementara? Masalah dalam hidup ini tidak akan selesai hanya dengan bersandar, baik ke bahu yang tepat ataupun tidak. Pada akhirnya, diriku sendiri yang akan menyelamatkan jiwaku dari segala kutukan dunia ini. Ucapan-ucapan penyabar dan kata-kata penyemangat dari orang lain hanya memberi sugesti sementara. Beberapa detik setelah sugesti itu tiba, aku harus kembali ke realita bahwa duniaku masih berantakan. Masih banyak yang harusnya ku selesaikan jika dibandingkan dengan tersenyum mendengar kata-kata penyemangat itu.
Aku jadi mengerti bahwa menceritakan sesuatu kepada orang lain tidaklah penting. Yang terpenting dalam hidup ini adalah bagaimana kita sebagai manusia menghadapi suatu masalah dalam hidup dan mengambil keputusan tepat untuk mengatasinya. Aku seolah-olah membangun tembok antara diriku dengan sekitar hanya untuk bisa kembali menjadi diriku beberapa tahun lalu. Umpamakan saja bahwa diriku kini tinggal di sebuah kastil yang sangat kuat.
Banyak orang mencoba meruntuhkan tembok ini. Berkali-kali mereka datang dan pergi untuk mengetes kekuatan tembok ini. Kadang juga mereka singgah hingga akhirnya mereka menyerah. Kebanyakan dari mereka langsung menghancurkan tembok ini dengan cara kasar. Mereka tidak mau tahu bagaimana caranya. Asalkan tembok ini runtuh, mereka akan melakukan apa saja. Terkadang aku menyesal karena telah membuat tembok ini. Aku takut nantinya tembok ini hanya akan mempersulit keadaanku.
Lalu tiba-tiba datang sang musafir yang entah darimana asalnya, memiliki cara yang unik. Musafir ini terlebih dahulu singgah di sekitar tembokku dan memerhatikan kelemahan benteng terkokohku itu. Lalu ternyata ia menemukan suatu pintu tersembunyi, dan musafir itu mengetuknya.
Di saat aku terganggu dengan pemecah-pemecah tembok, ketukan pintu itu membuatku turun dan membuka pintu.
Sedikit demi sedikit pintu telah terbuka. Musafir itu berhasil masuk ke lantai satu. Ternyata selain meneliti kastilku selama ini, ia juga memerhatikanku. Hal yang aku suka, dia tahu garis besarnya. Dia tahu kapan harus memuji dan kapan harus menertawakan. Dia tau kapan harus meninggi dan kapan harus merendah. Dia berhasil membuatku mempersilahkannya duduk sebagai tamu.
Di saat orang-orang yang lain masih sibuk meruntuhkan dinding luar, aku malah tertawa di lantai satu bersama musafir ini.
Lama akhirnya hingga kita saling bercerita satu sama lain. Refleks aku menyeduh kopi dan membuat roti sebagai teman bicara kami. Secara tidak sadar aku semakin dekat dengan musafir ini.
Pak Musafir, sebelum membawamu naik hingga lantai dua, izinkanlah aku bertanya.
Bagaimana bisa kamu mengetuk pintu dengan suara yang jauh lebih menyamankan telinga dibandingkan suara serangan-serangan terhadap tembokku?
Bagaimana bisa akalmu bisa menemukan pintu itu, lalu mengetuknya hingga aku membukakan pintu untukmu di saat aku sendiri lupa bahwa aku memiliki pintu itu?
Bagaimana bisa kamu membuatku kembali mengingat hal-hal yang lama ku simpan sendiri untuk ku ceritakan kepadamu?