Mungkin sebelum anak manusia terlahir di muka Bumi, Tuhan sudah mempersiapkan segala perangkat kehidupan termasuk nasib dan cobaan yang akan dilalui manusia tersebut di setiap langkahnya. Dengan skenario kehidupan yang apik, semua cobaan tersebut selalu menawarkan suatu pilihan untuk berhenti melangkah, lalu mundur. Selalu ada pilihan berhenti melangkah, demi bisa mempercepat langkah kaki untuk berlari dari kenyataan.
Pilihan selalu ada di tangan kita dengan semua konsekuensi yang siap untuk bertumpu di pundak kita.
"Hasil tidak pernah menghianati sebuah proses," itu hanyalah frasa belaka. Sebuah ekspresi kepuasan hati dari beberapa manusia. Tetapi di realita, ada kalanya kita mencoba dengan semua kemampuan yang ada, lalu hasilnya belum cukup juga. Terkadang juga ketika kita kurang berusaha, malah keberuntungan yang kita dapatkan. Hingga detik ini saya masih percaya bahwa semua ada maksudnya, entah apa.
Pernah suatu waktu kaki ini merasa lelah untuk melangkah. Pikiran untuk berhenti pun muncul, entah darimana. Ingin rasanya berlari dari semua yang ada, hingga pertanyaan-pertanyaan logis berdatangan.
"Mau lari kemana kamu? Memangnya punya tujuan lain?"
"Lalu untuk apa langkah-langkahmu yang dulu? Mau kamu sia-siakan saja?"
"Bukankah berat untuk bisa sampai di titik ini?"
"Bukankah dulu ini tujuanmu?"
Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala hingga tak sanggup otak ini menjawabnya. Entah logika atau rasa yang mengontrol itu semua. Sering saya ingin mengangkat tangan. Menyerah. Tidak tahu-menahu kenapa saya bertahan di titik ini dengan tetap melangkah di jalan yang penuh duri, bertelanjang kaki, pincang kanan kiri dan dengan klisenya menatap ke depan, lalu berpura-pura optimis bahwa kelak langkah ini akan menuntun saya menuju ke suatu tempat yang indah.
Entah kapan.
Mungkin ada benarnya, bahwa hasil tidaklah lebih penting dari proses yang kita lalui. Meskipun sebagian besar manusia bertumpu pada hasil, namun kenyataannya hasil tidaklah selalu menggambarkan proses yang ada. Jika hasil bersifat konkrit lalu proses bersifat abstrak, bagaimana bisa keduanya saling berhubungan hingga bisa saling mendefinisikan? Aneh, bukan?
Mungkin kadang saya lupa bahwa di langkah-langkah sebelumnya, duri yang menusuk telapak kaki saya beribu kali lebih tajam dan saya tetap bisa melangkah melaluinya. Kadang saya lupa alasan saya terus berjalan melawan medan dengan jutaan halang rintang yang selalu menghadang.
Terkadang menyerah menjadi pilihan termudah.
Tapi terkadang beberapa orang lupa dengan konsekuensi jangka panjang dari pilihan termudah yang hanya akan mendatangkan kebahagiaan sesaat dan penyesalan di setiap nafas yang terhembus nantinya.
Karena semua keadaan selalu memiliki maksud dan tujuan dan Tuhan tidak pernah sembarangan.
Kita diletakkan di waktu sekarang, karena Tuhan tahu bahwa kita mampu menghadapi apa yang akan terjadi satu detik ke depan, satu jam ke depan, keesokan hari, pekan depan, dan rintangan-rintangan yang bahkan belum pernah terpikir sebelumnya.
Jika kita cukup kuat untuk bisa tiba di sini, berarti kita cukup kuat untuk melalui ini.
Langkah kaki ini memang nanti pasti akan terhenti.
Tapi saya janji, bukan di titik ini.