Seorang anak dengan bodohnya menceburkan diri ke dalam danau, lalu tenggelam. Dia terjebak dan tidak dapat menemukan jalan keluar. Dia, yang awalnya hanya tahu bahwa danau berisi air tanpa mengetahui kedalamannya tetap menceburkan diri ke dalam kolam itu. Hingga akhirnya anak itu tenggelam karena kebodohannya sendiri.
Tidak hanya anak kecil. Pada hakekatnya, semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk jatuh dan terjebak ke dalam suatu tempat. Mungkin dia tahu bahwa tempat itu berbahaya, tapi dengan segala kebodohan-atau-kenekatan yang ada, manusia rela mengorbankan dirinya sendiri untuk terjebak.
Bodoh memang. Di kala seantero semesta menyambutmu dengan gembira, aku hanya bisa menolak. Menghindarimu dari sambutan yang berlebihan. Mungkin salah. Mungkin aku terlalu kekanak-kanakan. Tapi di antara semua kemungkinan yang ada, aku memiliki suatu kepastian tentang rasa.
Andai mata bisa mewakili hati untuk berkata, mungkin rasanya tak akan sesakit ini. Seharusnya dari awal aku mengerti bila semakin tinggi ku bawa diri ini terbang, akan semakin sakit pula rasanya saat terjatuh. Tapi yang terjadi semu. Aku tak bisa menyalahkan siapapun tentang kejatuhan ini. Aku terjatuh atas segala bayangan semu yang hingga kini tak dapat ku pastikan tingkat mayanya.
Apakah kita ditakdirkan untuk bertemu lalu menjadi satu? Ataukah aku yang ditakdirkan untuk menyimpan rasa dan berdiam diri memandangimu, merasakan segala debaran yang mengusik dada ini.... berat rasanya. Ku simpan namamu dalam setiap doaku yang mungkin tak pernah terucap. Biarlah hanya aku dan Tuhan yang tau betapa indah semua kesemuan ini pada awalnya sampai namamu tiba dalam doaku.
Doaku yang kini telah terkabul tiba-tiba menjadi kepedihan tersendiri. Mungkin memang sedari awal aku yang terlalu berkhayal, maaf. Harusnya sedari awal aku bercermin tentang siapa diriku dan siapa dirimu. Harusnya aku sadar bahwa untuk menatapmu saja, aku sudah menyakiti banyak manusia. Selamat, Tuan. Kharismamu yang sangat tinggi telah membuat wanita terpesona, bahkan yang sedang bersembunyi di bawah sudut sekalipun.
Bahkan diriku yang awalnya tak memiliki debaran apapun kini selalu menyematkan namamu dalam doaku agar kita, aku dan kamu, diberi jalan untuk bersama. Sebelumnya aku minta maaf atas diriku yang terlalu klise. Maafkan juga segala kata yang tak bisa terucap dari mulut ini, Tuan. Biarlah aku bisikkan namamu dalam doaku. Hingga suatu hari nanti matamu secara tidak sengaja menatap diriku yang selalu mencarimu, memerhatikanmu, tanpa berkedip.
Bodoh memang. Di kala seantero semesta menyambutmu dengan gembira, aku hanya bisa menolak. Menghindarimu dari sambutan yang berlebihan. Mungkin salah. Mungkin aku terlalu kekanak-kanakan. Tapi di antara semua kemungkinan yang ada, aku memiliki suatu kepastian tentang rasa.
Andai mata bisa mewakili hati untuk berkata, mungkin rasanya tak akan sesakit ini. Seharusnya dari awal aku mengerti bila semakin tinggi ku bawa diri ini terbang, akan semakin sakit pula rasanya saat terjatuh. Tapi yang terjadi semu. Aku tak bisa menyalahkan siapapun tentang kejatuhan ini. Aku terjatuh atas segala bayangan semu yang hingga kini tak dapat ku pastikan tingkat mayanya.
Apakah kita ditakdirkan untuk bertemu lalu menjadi satu? Ataukah aku yang ditakdirkan untuk menyimpan rasa dan berdiam diri memandangimu, merasakan segala debaran yang mengusik dada ini.... berat rasanya. Ku simpan namamu dalam setiap doaku yang mungkin tak pernah terucap. Biarlah hanya aku dan Tuhan yang tau betapa indah semua kesemuan ini pada awalnya sampai namamu tiba dalam doaku.
Doaku yang kini telah terkabul tiba-tiba menjadi kepedihan tersendiri. Mungkin memang sedari awal aku yang terlalu berkhayal, maaf. Harusnya sedari awal aku bercermin tentang siapa diriku dan siapa dirimu. Harusnya aku sadar bahwa untuk menatapmu saja, aku sudah menyakiti banyak manusia. Selamat, Tuan. Kharismamu yang sangat tinggi telah membuat wanita terpesona, bahkan yang sedang bersembunyi di bawah sudut sekalipun.
Bahkan diriku yang awalnya tak memiliki debaran apapun kini selalu menyematkan namamu dalam doaku agar kita, aku dan kamu, diberi jalan untuk bersama. Sebelumnya aku minta maaf atas diriku yang terlalu klise. Maafkan juga segala kata yang tak bisa terucap dari mulut ini, Tuan. Biarlah aku bisikkan namamu dalam doaku. Hingga suatu hari nanti matamu secara tidak sengaja menatap diriku yang selalu mencarimu, memerhatikanmu, tanpa berkedip.
Sambutan terhangat yang tak terucap dariku untukmu, Tuan.