7.17.2011

Sebuah Surat Dari Seekor Kucing

Salam saudaraku. Maaf apabila tulisanku ini mengganggumu. Namun aku tidak bisa bercerita langsung kepada kalian. Aku hanya bisa menulis di secarik kertas lusuh ini.


Kemarin aku sedang berjalan dan melihat temanku berlindung di sebuah benda besar. Benda itu memiliki 4 roda, dan kelihatannya terbuat dari besi yang sangat berat. Aku tidak tahu nama dari benda itu. Tapi benda itu telah membunuh temanku.


Ketika benda itu mundur, temanku tertindih benda itu.


Benda itu pergi, lalu aku cepat-cepat lari menghampiri temanku. Aku memanggilnya namun Ia hanya terdiam. Aku melihat darah keluar dari kepala dan lehernya. Aku menjilati darah temanku sambil menangis sampai ada seorang manusia yang mengubur temanku dan menyuruhku pergi dari tempat itu. Betapa baiknya manusia itu. Aku tidak akan pernah melupakannya yang telah menolong sahabatku.


Aku kembali berjalan dan melihat tempat sampah di depanku. Kalian menyebutnya tempat sampah. Namun bagiku ini adalah tempat mencari makan. Setidaknya kami tidak perlu membayar untuk mendapatkan beberapa potong ayam basi. Oh, ternyata di tempat makan ini tidak ada makanan. Aku terus berjalan sambil menelusuri setiap tempat sampah yang ada. Aku lapar, namun aku hanya bisa mengais tempat ini. Andai saja sahabatku masih hidup. Ia pasti akan sangat menghiburku.


Akhirnya aku mendapatkan sepotong ayam. Meskipun tinggal tulang, aku sangat bersyukur. Namun tiba-tiba ada jantan lain yang mencakar punggungku dan merebut makananku. Ya, kami memang harus bertengkar untuk mendapatkan makanan dan seekor betina. Aku hanya merelakannya dan mengais tempat makan lainnya.


Aku menemukan ayam lagi, dan yang ini lebih besar! Aku sangat bersyukur dan bahagia. Namun ada seorang manusia yang datang dan menendang kepalaku. Aku langsung lari membawa ayam itu dan menikmatinya di tempat yang aman.


Kepalaku masih terasa sakit sekali karena tendangan manusia tadi. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanyalah seekor kucing yang tidak disukai banyak manusia. Terkadang aku berfikir bahwa menjadi manusia enak sekali. Kalian bisa mencari makanan yang layak dan bergizi. Kalian juga bisa hidup bersama sebagai keluarga.


Aku pulang dengan menenteng sisa ayam di mulutku. Ya, aku sengaja menyisakan ayam tadi untuk anak dan istriku tercinta. Begitu sampai, istriku bilang bahwa anak kami dipisahkan dari kami oleh seorang manusia. Istriku tidak tahu kemana anak-anak kami dibawa. Kami hanya bisa menangis. Layaknya kalian, kami juga ingin melihat anak kami tumbuh besar dan sehat. Namun itu hanya tinggal impian semata.


Terkadang aku merasa iri dengan kucing-kucing yang dipelihara oleh manusia. Mereka mendapatkan kasih sayang yang besar dan makanan yang layak. Namun kucing-kucing itu adalah bule yang bulunya panjang, lebat, dan halus. Ya aku sebagai kucing kampung hanya bisa melihat mereka dari jauh.


Jika aku harus berhenti dan mengais pada setiap tempat sampah, kucing peliharaan hanya tinggal berteriak kelaparan dan majikannya akan memberi makanan. Pernah suatu waktu aku berusaha mencicipi makanan mereka, namun aku ditimpuk dengan batu oleh majikan mereka.


Ketika melihat manusia makan ikan, aku menghampirinya. Aku berharap mereka akan memberikan rasa iba terhadapku. Namun aku ditendang lagi. Rasanya sangat sakit. Aku langsung pergi dan hanya bisa berdoa agar manusia itu segera berubah.


Kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, namun mengapa kalian begitu benci terhadap kami? Ya, tubuh kami penuh luka dan menjijikan. Kami memang harus berjuang demi anak-anak dan istri kami. Memang bukan dengan pergi ke kantor, tapi dengan mencari makanan. Mengapa kalian begitu angkuh terhadap kami? Padahal kami tidak pernah menendang atau membalas semua perbuatan kalian.


Sekarang, aku mau menyebrang. Ini bertaruh antara hidup dan mati. Begitu banyak benda yang mirip dengan pembunuh temanku. Jika aku tidak selamat dalam penyebrangan ini, aku hanya bisa berharap anak-anak dan cucu-cucuku mendapat perlakuan yang layak dari kalian. Biar aku saja yang menerima perlakuan malang ini. Tolong jaga dan kasihi keturunanku ya manusia. Semoga dengan surat ini kalian tahu seberapa besar penderitaan kami.


Selamat tinggal dan terimakasih karena sudah membaca suratku.


Yang menjijikan,
Kucing.